Religi: Menyambut Maulid Nabi 1431 Hijriah

Hakikat Cinta terhadap Rasulullah Saw.

Oleh Fendy Sy. Citrawarga, B.A.

DALAM menyambut kelahiran Nabi Muhammad saw. atau Maulid Nabi, berbagai acara ritual digelar oleh sebagian umat Islam. Mulai yang sekadar menyampaikan ceramah dengan materi mengupas tarikh  Rasulullah saw. hingga dicampur dengan adat tradisi suatu daerah. Bahkan, ada yang terang-terangan menggelar perayaan yang berbau syirik.
Apa pun bingkainya, yang pasti  rasa cinta kepada beliau merupakan landasan utamanya. Betapa tidak, bagi muslim Nabi Muhammad saw. adalah segala-galanya. Inti keislaman setiap  muslim tidak bisa dilepaskan dari beliau. Sebab, syarat sahnya seseorang sebagai muslim harus diikat oleh dua kalimat syahadat yang isinya aku bersaksi bahwa tidak ada lagi ilah (tuhan) selain Allah dan Muhammad adalah hamba serta utusanNya.
Persoalannya, bagaimanakah kita mencintai nabi? Apakah dengan menggelar perayaan  maulid itu berarti kita telah membuktikan kecintaan? Lalu, jika tidak merayakan maulid  berarti tidak mencintai beliau?
Merncintai Nabi saw. tak cukup hanya dengan mengakui kerasulan dan kenabiannya, tak cukup juga merayakan hari kelahiran serta mengupas sejarahnya, tetapi lebih dalam daripada itu. Artinya, harus ada nilai prinsip yang berasaskan hidayah Allah dan RasulNya. Jelasnya, cara mencintai beliau harus sesuai dengan yang dikehendaki (baca: diridai) Allah dan RasulNya bukan sebatas aturan manusia, apalagi semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu.
Oleh karena itu, mencintai Nabi saw. wajib dilandasi asas  akidah dan keimanan yang kuat. Tanpa landasan keimanan, kecintaan terhadap beliau akan mudah dipengaruhi oleh hawa nafsu negatif yang malah bisa menyimpang dari ketentuan syariat.
Cinta berlandaskan keimanan, tak lepas dari makna keimanan itu sendiri. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa iman sejati harus mencakup tiga aspek, yaitu keyakinan dalam kalbu,  pengucapan pada lisan, dan  praktik amaliah dalam perbuatan. Demikian pula saat kita mencintai Allah dan RasulNya, hendaknya bertitik tolak dari kesucian hati  (bersih dari penyakit-penyakit batin seperti syirik, khurafat, sombong, dan sejenisnnya). Lalu, ungkapkan dalam ucapan agar orang-orang di sekitar kita mengetahui (dalam rangka menunaikan kewajiban dakwah), dan merealisasikan segala apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya yang berarti pula menjauhi segala laranganNya.
Itulah hakikat cinta kepada Allah dan RasulNya. Akan tetapi, kenyataan kerap menunjukkan bahwa kita begitu mudah mengucapkan cinta kepada Allah dan  RasulNya, tetapi perilaku sehari-hari tidak memancarkan cahaya Ilahi. Karena, amar atau titah Allah  kerap diabaikan, sedangkan laranganNya begitu mudah dilakukan. Pun dengan mencintai Nabi saw. masih jauh panggang dari api. Perilaku kontra nilai Islami pun  kerap dilakukan, misalnya perayaan maulid diselenggarakan begitu khusuk dan semarak, sedangkan kewajiban salat diabaikan, suri teladan akhlakulkarimah (akhlak mulia) dari Rasulullah  saw. seperti senantiasa jujur, tepercaya, saling mengasihi, suka sedekah meski sekadar dengan senyuman belum dilaksanakan secara optimal.
Semoga,  memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. kali ini,  kita dapat merengkuh hikmah dengan lebih mencintai beliau dalam makna yang sesungguhnya sebagaimana telah dikemukakan di atas.  Bagaimanapun, bagi muslim yang sungguh-sungguh beriman, tak ada uswah hasanah (contoh terbaik)  dalam hidupnya kecuali keteladanan dari beliau sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Alquran yang artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta dia banyak menyebut Allah.” (Surat Al Ahzab ayat 21).***